JAKARTA – Demi membela Tanah Air, seorang prajurit TNI kadang harus melakukan penyamaran di tengah kelompok musuh. Hal itulah yang dijalani oleh seorang anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus) yang berhasil menyusup ke dalam kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Dilansir dari buku Buku Kopassus untuk Indonesia karya Iwan Santosa E.A Natanegara, Sersan Badri, (bukan nama sebenarnya) saat itu memposisikan dirinya sebagai petinggu TNI yang menjadi pejuang GAM. Selama misi penyamaran itu, Sersan Badri berulangkali diuji kesetiaannya oleh GAM melalui berbagai tugas yang diberikan.
Suatu ketika petinggi GAM menguji Sersan Badri dengan memintanya menyembunyikan sanak keluarga mereka. Istri Panglima GAM yang sedang hamil delapan bulan disembunyikan di Kota Lhokseumawe oleh aparat demi memaksanya turun dari persembunyian, adalah salah satu anggota keluarga GAM yang dilindungi Badri.
Badri yang diuji kesetiaannya untuk melindungi anggota keluarga GAM melobi pimpinan TNI dan mengamankan istri Panglima GAM tersebut selama tiga bulan di kos yang disewanya Rp600 ribu per bulan.
Dia juga mengambil langkah untuk memastikan dirinya aman dengan menyewa tiga tempat kos yang tersebar di Lhokseumawe. Operasi tersebut sukses dijalankan oleh Sersan Badri dan berhasil memelihara jaringan intelijen TNI.
Badri juga pernah diminta memasok beras dan berhasil mengantarnya masuk ke Markas GAM, dan dalam misi lain diminta meloloskan anggota GAM ke Malaysia saat posisi mereka terdesak pasca pemberlakuan Darurat Militer di Aceh.
Tugas intelijen Badri tak sia-sia, tim ilntelijen Kopassus itu akhirnya mendapati bongkar muat 125 pucuk senapan milik GAM yang diselundupkan dari Thailand dan Malaysia. Badri yang datang ke markas GAM di Blang Ngara, Aceh Utara, saat pasokan senjata baru tiba, diminta melatih.
Selama menyamar Badri juga melakukan kegiatan sabotase seperti merekayasa alat pembidik senapan GAM sehingga tembakan mereka meleset. Untuk melindungi penyamarannya, Badri mengecoh patroli TNI agar tidak dapat menyergap GAM dengan membocorkan informasi tentang gerakan mereka.
Ketika terjadi kontak senjata antara TNI dan GAM, Badri pun kerap menjadi ditembaki oleh rekan-rekannya sesama prajurit TNI yang tidak mengetahui penyamarannya. Pasalnya, penyamaran Badri hanya diketahui oleh level pimpinan TNI.
Dari operasi intelijen itu, Badri juga berhasil mengetahui sumber keuangan GAM mulai dari perdagangan ganja kering yang dikirim melalui jalur laut dengan kapal-kapal kecil ke Malaysia.
Selain itu pemerintah setempat dan perusahan besar seperti Exxon Mobil, Pupuk Iskandar Muda, Asean Fertilizer dan seluruh warga Aceh juga diwajibkan memberi dana kepada GAM.
GAM juga mengenakan “pajak” terhadap hewan ternak sapi, kambing, sawah dan kebun warga yang sangat memberatkan masyarakat. Namun, setelah pemberlakuan Darurat Militer pada 2003, ruang gerak GAM semakin sempit. Amunini dan logistik GAM juga sudah sangat menipis.
Pada 2004, turun perintah untuk menangkap hidup atau mati tiga tokoh kunci GAM yaitu, Muzakir Manaf, Sofyan Dawood dan Said Adnan. Badri pun mendapat perintah untuk kembali ke Jakarta.
"Semua tokoh kunci yang menjadi sasaran berada di Cot Girek. Hingga saya pamit meninggalkan mereka pukul 15.00, Said Adnan, Muzakir Manaf dan Sofyan Dawood masih ada di sana. Saya pun masih sempat memberi informasi terakhir kepada induk pasukan. Hari H dan Jam J serangan ditetapkan," kata Badri.
Markas GAM diserbu Kopassus dari semua arah. Namun ternyata Muzakir dan Sofyan Dawood sudah menyingkir malam sebelumnya. Sementara Gubernur GAM Said Adnan dan ajudannya yang seorang desersi TNI meninggal akibat luka tembak di dada dan perut. Muzakir dan Sofyan Dawood yang lolos menyingkir ke kawasan Nisam.
Di akhir 2004, tsunami mengantam Aceh. Kekerasan pun berangsur surut. Seiring waktu berjalan, perjanjian Helsinski antara Pemerintah Republik Indonesia dan GAM akhirnya ditandatangani.

